Editorial News ANTARA RUNDUT DOHOT BINGKA-BINGKA

Ali Rachman Nasution, SH
Ali Rachman Nasution, SH

Menjelang Pilkada Serentak Desember 2015, kata “RUNDUT” begitu populer dalam percaturan politik didaerah ini, setelah di lansir media massa dan terpampangnya dibanyak baliho yang sengaja dipasang dipinggir jalan atau tempattempat strategis lainnya oleh salah satu Balon Bupati yangbada didaerah ini. ”Ulang Rundut be” begitu untaian kata ditampilkan. Penjelasan dari seorang pakar ketata-bahasaan daerah Madina,secara harfiah terjemahannya “Jangan Kusut lagi”(yang sudah menjadi konsumsi bacaan dan perdebatan umum dikedai-kedai kopi).Tentu berbicara tentang ‘kata’ rundut atau kusut, biasanya dipakai untuk gambaran “bonang narundut=benang kusut” dengan kondisi yang tak jelas lagi ujungpangkalnya, semacam ‘dilema’ yang tak tahu lagi darimana kita memulai untuk mengurainya. Artinya, biasanya apabila dihadapkan kepada kita kondisi seperti itu, pasti kita lebih praktis berpikir begini, “daripada mengurainya yang tak tahu dari mana pangkal memulainya dan kapan siapnya serta apakah berhasil atau tidak,lebih logis kalau kita buang saja dan langsung kita ganti dengan benang baru, iya kan ?!”- jelas pakar bahasa itu. Dalam konteks analisis ‘bias kata’, selogan “ulang rundutbe” dalam tahapan menjelang Pilkada ini nampaknya diarahkan kepada kondisi tata kelola roda Pemerintahan Kab Madina yang dianggap “sudah rundut” saat ini. Banyak pihak menilai bahwa kesimpulan seperti itu kurang profesional dan elegan (walaupun ada yang pro), karena dikhawatirkan akan bermuara kepada munculnya nanti berbagai ‘black campaign’ yang sarat berbau fitnah diantara sesama ‘balon bupati’ untuk mempertahankan dan membenarkan argumentasinya. Hal seperti ini tentu sangat merugikan daerah dan sekaligus menciderai pesta demokrasi, yang berujung kepada tidak optimalnya ending hasil Pilkada. Black Campaign (kampanye hitam) yang beranjak dari pemaksaan ambisi dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, adalah dengan menafikan nilai baik rivalnya, semuanya sudah serba negatif dan salah, atau dalam bahasa bumi gordang sambilan ini adalah “sude sala” atau identik dengan “bingka-bingka”.

Namun pihak tersebut juga melihat secara riel bahwa, percepatan pembangunan masih rendah dan banyak SKPD yang belum pas dijobnya sehingga tupoksi yang diembannya tidak maksimal. Sumpah jabatan dan “fakta integritas” yang dibuat hanya sebatas piranti kelengkapan jabatan yang sudah baku. Sementara pembinaan dan pengawasan masih lemah. Namun begitupun, bukan berarti tidak ada yang baik dan kemajuan yang dicapai, walaupun Dahlan Hasan baru 7 bulan defenitif sebagai Bupati.Kita berharap Bupati berani mereformasi birokrasinya,agar pelayanan publik lebih maksimal dan percepatan pembangunan semakin terpacu. Kembali kepada pemaknaan “bonang narundut = benang kusut” yang identik dengan sebuah dilema. Andai benar kesimpulan kondisi Pemkab Madina seperti itu, tentu siapapun Bupati terpilih nantinya, harus terlebih dahulu membuangnya mulai dari Sekda,seluruh SKPD dan stafnya dengan mengganti yang baru agar tidak rundut lagi, karena mereka itu adalah satu-kesatuan yang tak terpisahkan dari kerundutan yang ada saat ini. Apa bisa ?! Ironis memang, manakala jargon-jargon politik para balon bupati Madina kurang tepat memilih kata- kata yang pas dalam pencitraan dirinya dan dikhawatirkan berbias kepada black campaign atau “bingkabingka” yang jauh dari pendidikan politik dan pencerdasan masyarakat. Atau mungkin lebih baik seperti kartun negerinya Soleh Solihun :”Masih banyak yang tidak beres dinegeri ini. Kalau saya sih, hanya mendo’akan yang belum beres menjadi beres, yang sudah beres tambah beres. Permisi dulu ya, daaa…brum…brum.

Tinggalkan Balasan

error

Enjoy this blog? Please spread the word :)