SEJARAH KOPI MANDAILING
OLEH :
ASKOLANI
Sebagai tindak lanjut kebijakan Taman Paksa, Tahun 1835 bibit kopi Arabica didatangkan dari Jawa ke Mandailing. Tahun 1840 sudah ada pembibitan kopi di Tano Bato dan di Sipirok. Tano Bato untuk menutupi lahan perkebunan di Mandailing, dan Sipirok untuk menutupi lahan di kawasan Angkola. Penduduk di bawah Asisten Residen Angkola Mandailing ketika itu berjumlah 44.000 jiwa (Mandailing Godang 17.000 jiwa, Mandailing Julu 11.000 jiwa, Ulu dan Pakantan sebanyak 5.000 jiwa, dan Angkola-Sipirok 11.000 jiwa. Padang Bolak/Padang Lawas ketika itu bukan di bawah Asisten Residen Angkola Mandailing). Kawasan Angkola Mandailing diproyeksikan sebagai pusat perkebunan kopi di Sumatera, baik di bawah perusahaan perkebunan pemerintah kolonial, maupun petani tradisional yang wajib menanam kopi sebagai ganti hak pakai tanah bagi petani. (Dalam ketentuan hukum kolonial, semua tanah milik pemerintah, rakyat hanya memiliki hak guna usaha).
Tahun 1848, di kawasan Mandailing saja terdapat 2,8 juta batang kopi. Karena itu Mandailing-Angkola menjadi produsen kopi terbesar untuk komoditas ekspor ke Eropah. Sebelum di ekspor melalui dermaga Natal, kopi-kopi itu disimpan dalam gudang kopi. Di Tano Bato terdapat 22 PAL Gudang Kopi, di Pakantan terdapat 11 PAL. Kopi tersebut kemudian diangkut oleh para kuli panggul hingga ke Pelabuhan Natal. Kuli panggul tersebut disuplai desa-desa yang ada di bawah Asisten Residen. Pekerjaan berat itu menimbulkan gejolak sosial. Karena itu, pemerintah kolonial berencana membangun jalan Pos Panyabungan – Natal yang bisa dilalui pedati untuk menggantikan kuli panggul.
Bulan Agustus 1848 dimulailai pembangunan jalan dan jembatan. Jembatan Rambin di Sungai Batang Gadis diganti dengan jembatan kayu beratap ijuk. Selain itu, 2.650 laki-laki dikerja-paksakan membangun jalan pos tersebut, dengan rincian masing-masing kampung besar mensuplai 100 orang perkampung untuk bekerja selama 180 hari. Tanggal 8 Januari 1851, jalur transportasi tersebut selesai. Dimulailah dominasi ekspor kopi Mandailing ke Eropah. Kopi itu disebut “Kopi Mandheling” atau “Kopi Pakant”.
Kopi produksi kawasan Sipirok, diangkut ke Pelabuhan Sibolga. Tetap dengan menggunakan kuli panggul hingga tahun 1880-an, bersamaan dengan dibangunnya jembatan Batang Toru. Sekalipun kopi Mandailing sama dengan kopi yang ditanam di daerah lain, tetapi aromanya tidak sebaik kopi yang ditanam di Mandailing. Pudarnya masa keemasan kopi ini, mendorong pemerintah kolonial mengembangkan tembakau di perkebunan Deli sebagai komoditas andalan perkebunan.