Oleh: Ahmad Muhajir
Penulis merupakan Dosen Sejarah Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat
“Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu.”-Ki Hajar Dewanta
Setiap tanggal 2 Mei bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), maka secara momentum hari itu selalu diperingati dengan upacara nasional. Momentum hari pendidikan tidak terlepas dari tanggal kelahiran seorang pejuang pendidikan di masa kolonial yaitu Ki Hajar Dewantara, dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Beliau merupakan Bapak Pendidikan Nasional, sekaligus sang pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia pada masa kolonial Belanda.
Menilik kebelakang pada masa kolonial, kaum bumiputera sangatlah sulit untuk duduk dan mengenyam pendidikan secara merata, pendidikan cenderung terlihat esklusif dan mayoritas hanya difasilitasi untuk mereka yang berada pada kaum kelas menengah-atas. Hanya mereka dari kalangan ningrat maupun priyai yang diizinkan bersekolah.
Baca Juga : Urgensi Pendidikan Inklusif
Namun sekarang pendidikan tidaklah sesulit masa penjajahan, semua masyarakat dapat merasakannya, tidak ada lagi kelas-kelas sosial untuk menunjukkan masyarakat itu layak atau tidak mengenyam pendidikan, karena seyogianya pendidikan untuk semua lapisan masyarakat. Hampir seluruh lapisan masyarakat bisa merasakan bangku sekolah, meskipun tidak terlepas dengan problem, adanya anggapan yang menyatakan pendidikan itu mahal. Sesuai dengan UUD 1945 pasal 31 ayat (1), setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pemerintah sudah mencanangkan wajib belajar 12 tahun dengan jaminan biaya gratis. Namun walaupun demikian problem masih tetap ada, masyarakat masih banyak yang memilih untuk putus sekolah.
Pada tahun 2017 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dari 68,9 di tahun 2014, menjadi 70,81 di 2017, jika dilihat dalam data statistik tersebut maka yang ditemukan adalah peningkatan pada pembangunan manusia dengan persentase sebesar 1,91 dalam jangka waktu tiga tahun. Untuk selanjutnya, kita akan terus berharap agar peningkatan pada pembangunan manusia di Indonesia akan terus berlangsung. Mereka para generasi muda akan tetap duduk dan menikmati indahnya berada pada bangku sekolah.
Pendidikan Karakter
Sekolah bukan hanya persoalan pabrik yang akan meluluskan para siswa-siswi, bukan juga bercerita seputar anak-anak yang lulus pada perguruan tinggi favorit, jauh daripada itu, sekolah adalah tempat anak-anak dibentuk dan ditanamkan kepribadiannya agar benar-benar menjadi seorang manusia. Husaini (2011) menyebutkan, bahwa nilai kejujuran, kerja keras, sikap ksatria, tanggung jawab, semangat pengorbanan, dan komitmen pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas merupakan buah dari pendidikan karakter itu.
Sesuai dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3, mengamanatkan bahwa, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Pendidikan karakter telah masuk dalam kurikulum 2013 yang menjadi acuan pendidikan Indonesia. Pendidikan karakter merupakan proses pembentukan, transformasi, transmisi, dan mengembangkan potensi peserta didik agar bisa berpikir baik, berhati baik dan berperilaku baik sesuai dengan amanah dan falsafah hidup Pancasila. Pendidikan karakter berfungsi agar para peserta didik mampu memilah budaya bangsa sendiri, dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.
Kita mengakui beberapa permasalahan dalam pendidikan kita, antara lain disebabkan persoalan etika dan moral baik dari para guru maupun siswa. Apa yang sering kita konsumsi akhir-akhir ini adalah perlakuan-perlakuan yang menyimpang dan terus menjalar dalam dunia pendidikan. Perkelahian antara guru dengan siswa, serta tawuran yang dilakukan oleh sejumlah pelajar turut menambah rentetan keperihatinan terhadap wajah pendidikan Indonesia. Tugas guru memanglah berat, guru itu mendidik, mendidik manusia untuk jadi manusia. Dia tidak membahas persoalan nilai tinggi, akan tetapi motivasi. Dia tidak membuat peserta didiknya menjadi orang yang benar-benar pandai, melainkan menjadikannya manusia yang haus akan wawasan. Selamat Hari Pendidikan Indonesiaku, sehat dan sejahtera guru-guruku!