CAKRAWALA KOMUNITAS MARGA “NASUTION”

Sebuah Analisis :

CAKRAWALA KOMUNITAS MARGA “NASUTION”

( by : Ali Rachman Nasution SH )

Mandailing Natal|BBNewsmadina.com

Kenapa marga NASUTION merupakan komunitas marga terbesar di Sumatera Utara ?. Pertanyaan ini sering mengemuka dan menggelayut dibenak banyak pihak. Penulis dalam hal ini mencoba merangkumnya dari kajian berbagai literature, aspek mithologi dan antropologi yang ada.

Dalam kawasan Mandailing, Nasution adalah sebuah marga yang termasuk belakangan lahir (1.500 -an) dari leluhur  Ompung Raja Sibaroar Nasakti Gelar Sutan Di Aru, yang berpusat di Panyabungan Tonga. Namun, karena kebesaran, kejayaan dan kedigdayaan kerajaannya, disamping Nasution yang asli, setidaknya ada 9 (sembilan) kelompok masyarakat yang mengadopsi marga Nasution menjadi marganya (me-Nasution-kan diri) dan atau diberikan marga, dengan beragam modus atau penyebab yang melatar belakanginya masing-masing. Tapi yang masuk dalam Tarombo (Silsilah)  Induk marga Nasution hanyalah Nasution yang asli dan diakui kesyahihannya darah keturunan Raja Sibaroar Nasakti. Yaitu, bermula dari kata “Nasakti” dibelakang nama Raja Sibaroar, lazim disebut “Nasaktion” dan akhirnya berubah menjadi “Nasution”. Sementara yang lainnya tidak masuk tarombo, tapi sejak dulu sampai sekarang tetap diakui keberadaannya bermarga Nasution, tidak dipermasaalahkan dan masuk dalam kekerabatan komunitas kebesaran kemargaan Nasution. Siapa- siapakah mereka ?

  • Sebuah mitos menjelaskan bahwa Sibaroar Nasakti lahir sekitar tahun 1.515 M dan diangkat masyarakat sekelilingnya menjadi Raja pada usia 18 tahun (1.533 M) dan masih lajang. Dia tutup usia sekitar 105 tahun (1.620 M) kemudian. Karena keperkasaan dan kesaktiannya, kelompok-kelompok masyarakat yang ada saat itu, menyatakan sumpah setia kepada Raja Sibaroar sebagai rakyatnya. Mereka ini disebut dengan julukan “rakyat nasutio” (rakyat yang setia) dan mereka inilah awalnya sebagai cikal bakal rakyat yang mengakui keberadaan dan membantu berdirinya kerajaan baru Sibaroar Nasakti. Lalu, dari kata “nasutio” dibelakang “rakyat nasutio” itulah pada akhirnya bermetamorfosa menjadi “Nasution” sampai sekarang. Mereka tinggal di Banjar Lancat, Banjar Jambu, Banjar Joring, Tangga Hambeng dan lainnya. Makanya sampai sekarang keturunannya masih jamak menyebut dirinya “Nasution Lancat”, “Nasution Jambu”, “Nasution Joring”, Nasution Tangga Hambeng” dan lainnya.
  • Ayah kandung Ompung Raja Sibaroar Nasakti adalah “Batara Gorga Pinayungan”, sedang abang kandungnya bernama “Batara Gorga Sinomba” yang membuka dan berkuasa penuh di Kesultanan Kota Pinang (Labuhan Batu sekarang). Keduanya adalah keturunan dari Daulat Baginda Maharaja Sangsi Perba dari Kesultanan Pagaruyung (keturunan Daulat Baginda Maharaja Seram dari Kesultanan Sriwijawa). Dalam perjalanan waktu, karena kesohoran dan kejayaan kerajaan Ompung Raja Sibaroar Nasakti Gelar Sutan Di Aru yang melahirkan marga Nasution ini, akhirnya Sultan Kota Pinang yang masih sedarah dengan Raja Sibaroar Nasakti mengadopsi marga “Nasution” menjadi marganya sendiri di Kesultanan Kota Pinang. Catatan : Sampai sekarang pewaris Kesultanan Pagaruyung dan pewaris Kesultanan Kota Pinang mengakuinya. Buktinya Prof Dr Anwar Nasution diberi gelar adat “Yang Dipertuan Tuanku Rajo Pinayungan Nan Sati “ pada tanggal 29 Juli 2006 oleh Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung, karena Nasution diakui adalah anak Raja Pagaruyung.
  • Ada namanya Kerajaan Padang Garugur yang sudah punah diseputar Aek Siala Payung – Mompang, yang terkenal dipimpin seorang “Raja Parampuan” kala itu, akibat kalah perang dari kerajaan Nasution, akhirnya Raja Parampuan bersama rakyatnya (tidak ada yang bermarga Nasution) eksodus ke daerah Daludalu (Rokan). Untuk menghilangkan jejaknya dan agar bisa diterima masyarakat sekitar, mereka semua mengaku bermarga Nasution (me-Nasution-kan diri secara sepihak) dan keturunannya sudah beranak-pinak tetap bermarga Nasution sampai sekarang.
  • Setelah Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan (Generasi ke-5 dari Kerajaan Marga Nasution atau anak dari Baginda Mangaraja Enda) berkuasa penuh di Kota Siantar, yang sekaligus menjadi Raja dari marga “Borotan” di Banjar Sibaguri dan marga “Mardia” di Padang Mardia. Maka pada akhirnya marga Borotan dan marga Mardia banyak yang terpengaruh me-Nasution-kan diri, dengan menyebut “Nasution Borotan” atau “Nasution Mardia”, dan lama kelamaan akhirnya tinggal Nasutionnya saja. Namun akhir-akhir ini ada sebagian dari keturunan marga Borotan dan marga Mardia yang menelusuri kembali sejarahnya dan mulai eksis memakai marga aslinya.
  • Dahulu banyak kampung yang semula penduduknya tidak ada bermarga “Nasution”, tapi karena Raja yang ditugaskan kekampungnya bermarga Nasution dari Panyabungan Tonga atau dari Kota Siantar, akhirnya banyak penduduk yang me-Nasution-kan diri atau memakai marga Nasution sampai keturunannya sekarang.
  • Ada namanya marga “Lintang” lahir di daerah Pakantan (Muara Sipongi). Menurut pengakuan beberapa orang sepuhnya kepada penulis, bahwa mereka merasa lebih dekat ke marga “Nasution”, karena mereka lahir dari buah “cinta terlarang” atau kawin sesama marga Lubis, sehingga mereka dikeluarkan dari adat komunitas marga Lubis. Sebagian dari mereka, malah hanya dikampung saja mereka yang mengaku marga Lintang, tapi bila sudah keluar atau pergi merantau pada umumnya mereka mengaku bermarga “Nasution”.
  • Kasusnya lain lagi di daerah Tapanuli Utara. Ada marga “Siahaan” yang memberi nama anaknya “si Nasution”, akhirnya kelompok ini lama kelamaan Siahaannya hilang justru yang tinggal diabadikan marga mereka berobah menjadi Nasution sampai beranak pinak sekarang.
  • Yang lumrah adalah pendatang ke Mandailing dengan marga atau suku lain. Lazimnya mereka itu melakukan ikatan kekerabatan yang disebut dengan “manopot kahanggi” dimana tempatnya berdomisili. Tentu kalau di Mandailing Godang karena basisnya adalah marga “Nasution”, maka yang mereka datangi itu biasanya bermarga Nasution. Akhirnya, lama kelamaan berobah marga atau sukunya menjadi Nasution.
  • Terakhir adalah pemberian marga kepada pendatang akibat hubungan perkawinan, atau kepada para Pembesar/Pejabat, apakah itu karena bentuk penghargaan karena mengunjungi Mandailing atau karena faktor lain. Dalam hal ini sudah sering dilaksanakan melalui upacara prosesi adat, termasuk didalamnya pemberian marga “Nasution” atau marga lainnya.

KESIMPULAN :

  1. Dari uraian diatas tergambar bahwa, Marga Nasution menjadi komunitas marga terbesar minimal di wilah Provinsi Sumatera Utara adalah suatu hal yang tak terbantahkan, karena sumbernya banyak. Namun kalau yang asli hanya satu, yakni keturunan yang tertera dalam Tarombo Induk atau yang berasal dari kata “Nasaktion” menjadi “Nasution”. Sedang selebihnya kemargaannya tetap diakui dan tidak pernah dipermasaalahkan serta mereka  hidup dan berkembang tetap dibawah bayang-bayang kebesaran dan kedigdayaan Ompung Raaja Sibaroar Nasakti Gelar Sutan Di Aru Nasution.
  2. Marga adalah “bendera” warisan etnik yang tidak boleh “disakralkan dan merasa dimiliki hanya sepenggal kelompok”. Marga dilahirkan oleh leluhur para pencetusnya, yang kemudian menjadi milik bersama komunitasnya dan sekaligus sebagai mantel kebesaran marga itu sendiri. “Bendera Marga” duluan dilahirkan (dilounching) oleh para pencetusnya, kemudian setelah itu baru lahir turunannya beranak-pinak. Artinya, seseorang yang memiliki marga dalam penulisan dibelakang namanya, adalah pribadi yang mempunyai hubungan vertikal langsung kepada leluhurnya sampai kepada titik digaris mana ia dicetuskan. Karena marga ayahnya, neneknya, eyangnya dan seterusnya misalnya adalah Nasution, makanya dia pula bermarga Nasution, bukan hubungan horizontal. Soal dititik mana leluhurnya baru memakai marga Nasution, apakah asli atau yang me-Nasution-kan diri, dititik itu pulalah secara linier puncak leluhurnya terhenti.
  3. Berkaitan dengan symbol dan status singgasana Kerajaan yang diwariskan, apakah Raja Panusunan, Raja Ihutan, Raja Pamusuk atau Raja Sioban Ripe, adalah soal lain. Namun biasanya adalah berdasarkan garis keturunan dengan kepatuhan kepada tatanan hukum adat-istiadat yang sangat ketat. Tapi hal ini berlaku sesungguhnya, adalah sebelum diproklamasikan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Setelah itu, semua kedaulatan kerajaan diseantoro Nusantara ini, diserahkan sepenuhnya kepada system bernegara dan tidak ada lagi raja dan kekuasaannya. Makanya, kita semua adalah Rakyat Indonesia, bukan lagi rakyat kerajaan anu. Yang tinggal dan dihargai pemerintah melalui perangkat peraturannya, hanyalah tatanan adat budaya kekhasan daerahnya masing-masing sebagai bagian dari kekayaan budaya nasional.
  4. Ompung Raja Sibaroar Nasakti Gelar Sutan Di Aru Nasution, diangkat menjadi Raja serta memiliki kerajaan besar, yang pasti bukanlah karena warisan dari ayahnya. Akan tetapi dia tumbuh dan berkembang sebagai sosok yang memiliki karakter pribadi “tipikal petarung dan pejuang” yang gagah berani, perkasa dan sakti. Makanya, semestinyalah darah keturunannya mewarisi tipikal karakter pribadi dan semangat kejuangan seperti itu.
  5. Sebagai cermin bagi kita, ada beberapa contoh nyata yang mewarisi karakter ke-Nasution-an seperti itu dizamannya, yakni : Willem Iskander Nasution mewakili territorial Pendidikan, Tuan Syeh Abdul Wahab Musthafa Husein Nasution – Purba Baru mewakili teritorial Keulamaan dan Pendidikan Keagamaan, Jendral Besar Abdul Haris Nasution mewakili teritorial pertahanan dan keamanan Negara, DR Adnan Buyung Nasution SH, MH mewakili territorial Hukum  dan masih banyak lagi yang lainnya.(***)

Tinggalkan Balasan

error

Enjoy this blog? Please spread the word :)