bbnewsmadina.com, – Medan, Berkisar 10 orang mengatasnamakan perwakilan masyarakat Desa Batusundung, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta) melaporkan Pengurus Kelompok Tani “Taruna Tani” Batusundung kepihak Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) di Medan beberapa hari yang lalu, Rabu (24/04/2024).
Adapun laporan yang dilayangkan masyarakat Desa Batusundung ke Pihak Kejati Sumut, terkait dugaan korupsi penyelewengan dana Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang berpotensi merugikan negara.
“Ada dugaan penyelewengan dana PSR yang dilakukan oleh Pengurus Kelompok Tani “Taruna Tani” serta dugaan merekayasa berkas permohonan terkait dengan lahan, sebab lahan yang ada di Desa Batusundung sebagian besar adalah hutan rakyat yang ditanami pohon karet ‘disulap’ menjadi tanaman sawit,” kata salah satu pelapor, Anwar Sadar Siregar belum lama ini, Kamis (01/05/2024).
Menurut Sadat, kuat dugaan agar peremajaan sawit rakyat yang diajukan kelompok tani tersebut disetujui oleh pemerintah pusat, terindikasi bahwa permohonan yang disampaikan oleh kelompok tani “Taruna Tani” telah direkayasa.
“Dari dulu di Desa Batusundung tidak ada tanaman sawit, yang ada tanaman karet. Ini menunjukkan bahwa diduga telah direkayasa permohonan kelompok tani itu,” ungkap Sadat siregar sembari mengatakan entah gambar tanaman sawit siapa yang difoto mereka.
Menurutnya lagi, Sadat menjelaskan, program peremajaan sawit rakyat (PSR) itu lebih dikenal sebagai Replanting yang merupakan upaya pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat dengan melakukan penggantian tanaman sawit yang sudah tua maupun yang tidak lagi berproduksi dengan tanaman baru yang bersertifikat.
“Jadi, dengan membuka lahan baru dan tanaman karet diganti dengan tanaman sawit, itukan sudah menyalahi aturan. Ini namanya merekayasa,” cetusnya.
“Tidak tepat sasaran yang dilakukan kelompok tani “Taruna Tani” ini, apalagi negara telah menggelontorkan anggaran Rp30 juta per hektar untuk kelompok tani tersebut,” imbuhnya.
Diketahui, jumlah anggota kelompok tani “Taruna Tani” berjumlah 62 orang. Dengan perincian lahan yang dimiliki anggota kelompok tani tersebut, antara 1 hektare hingga 4 hektar. Dan jumlah keseluruhan yang disetujui negara sebanyak 162,1451 hektar.
Jika 162,1451 hektar dikalikan Rp30 juta, berarti sebanyak Rp4.864.353.000 yang sudah dicairkan negara kepada kelompok tani “Taruna Tani”
Masih dikatakan Sadat, adanya dugaan pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh pengurus kelompok tani “Taruna Tani” terhadap setiap anggota yang ingin mendapatkan bantuan bibit sawit dengan modus biaya pengurusan PSR.
“Bahwa, informasinya setiap anggota dikutip biaya pengurusan PSR sebesar Rp400 ribu per hektare,” ungkapnya.
Dia juga menyampaikan, dari pelaksanaan dan penempatan lokasi PSR diduga tidak sesuai prosedur dan melanggar aturan serta mengabaikan aspek lingkungan yang menimbulkan erosi yang dapat merusak aliran irigasi sawah masyarakat.
“Dan juga penempatan lokasi PSR terletak di lokasi mata air, sehingga dikhawatirkan akan berdampak mengeringnya sumber mata air Aek Sigama,” jelas Sadat.
Selain itu, Anwar Sadat Siregar juga mengatakan bahwa diduga telah terjadi penyelewengan anggaran PSR. “Diduga anggaran tersebut diselewengkan, sebab ada anggota mendapatkan jumlah bibit sawit diduga tidak sesuai dengan jumlah yang ditentukan. Tidak ada juga perawatan seperti pupuk dan herbisida,” ungkapnya.
Diakhir, Sadat menyampaikan kenyakinannya terhadap institusi Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) sebagai lembaga penegakan hukum yang memiliki integritas dan dedikasi tinggi, profesional dan proporsional yang mengedepankan kepentingan umum, Masyarakat dan Negara.
“Dengan kenyakinan kami Masyarakat Desa Batusundung Kecamatan Padang Bolak Kabupaten Paluta, bahwa Kejati Sumut mampu mengusut tuntas dugaan penyelewengan dan PSR yang telah merugikan negara,” tegas Sadat.
“Kami juga meminta kepada Bapak Kepala Kejaksaan Tinggi Sumut untuk segera memanggil dan memeriksa pengurus kelompok tani ‘Taruna Tani’ beserta pihak-pihak yang terlibat dalam program PSR ini, termasuk pihak-pihak yang bekerjasama sehingga permohonan kelompok tani tersebut disetujui,” pungkasnya mengakhiri.
Hal yang sama juga disampaikan pelapor lainnya, Sahrial Harahap. Ia mengungkapkan bahwa ada namanya tercantum dalam daftar calon penerima kegiatan PSR kelompok tani “Taruna Tani” namun tidak direalisasikan.
“Saya sendiri memiliki lahan dan saya terdaftar sebagai calon penerima program PSR. Meski saya sebelumnya telah mengundurkan diri, namun mengapa nama saya masih tercantum didalam daftar penerima seluas 3,2 hektare. Pertanyaannya, kemana anggaran yang telah dicairkan negara berkisar Rp96 juta itu..?,” tanya Sahrial.
“Apa anggaran itu dikembalikan ke negara, atau dikorupsi..?,” tanya Sahrial lagi.
Sahrial pun menduga kemungkinan pemilik lahan lainnya yang namanya tercantum dalam daftar penerima program PSR dan telah mengundurkan diri, nasibnya sama sepertinya. “Saya menduga, kemungkinan masih banyak yang lain yang namanya tercantum dalam daftar penerima tapi tidak direalisasikan kelompok tani tersebut,” sindirnya.
Sahrial juga mengungkapkan ternyata masih ada penerima yang diduga lahannya di mark-up. “Ada lahannya seluas 3/4 hektare, namun didalam daftar penerima tercatat menerima 2 hektare,” tuturnya.
Keluh kesah pun diungkapkan juga oleh salah satu anggota kelompok Tani “Taruna Tani” Desa Batusundung Kecamatan Padangbolak, Gusnar Siregar.
Gusnar mengaku bahwa ia diminta berkas Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk dimasukkan menjadi anggota PSR. Dimana lahan Gusnar seluas 3,8 Hektare. Namun, setelah dilakukan penanaman bibit sawit awal tahun 2023 hingga kini tidak ada dilakukan perawatan dari Ketua Kelompok Tani, Ardiansyah Harahap.
“Di awal tahun 2023 lahan kami ditanami sawit oleh masyarakat sini yang disuruh oleh Ketua PSR dan hingga kini tidak ada dilakukan perawatan terhadap lahan kami yang sudah ditanami sawit,” tuturnya.
“Saat ini tanaman sawit kami ibarat ‘hidup segan mati tak mau’. Gimana la, seperti manusia tidak diberi makan,” sindirnya.
Dia juga mengatakan, bahwa dalam pengurusan untuk mendaftar sebagai anggota PSR dikutip Rp 400 ribu per hektare.
“Kami menyesal menjadi anggota PSR, sebab lahan tanaman karet kami diganti dengan PSR namun tidak ada hasilnya, bisa dilihat la kelokasi lahan kami gimana sekarang tanamanan sawit itu,” kesalnya.
Anggota kelompok tani lainnya, Dasrin Dalimunthe juga mengatakan hal yang sama. Dasrin Dalimunthe mengaku bahwa ia merupakan salah satu anggota kelompok penerima program sawit rakyat (PSR) di Desa Batusundung tahun 2023.
Namun, ia juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap pengurus kelompok tani tersebut. “Saya menduga ada hak-hak saya yang tidak direalisasikan, seperti kurangnya bibit kelapa sawit, tidak adanya perawatan atas kebun saya sampai saat ini dan tidak pernah menerima pupuk susulan serta herbisida,” ujar Dasrin.
Dasrin menambahkan bahwa untuk persiapan maupun pengolahan lahan, kelompok tani tidak menggunakan excavator. “Dan lahan saya juga tidak ditrasering melainkan hanya dibersihkan dengan alat senso sehingga sangat menyulitkan untuk dilakukan pemeliharaan akibat banyaknya bekas (tungkul) kayu di lahan saya,” tandasnya.
KEABSAHAN BIBIT SAWIT DIRAGUKAN
Berdasarkan hasil investigasi, Anwar Sadat Siregar mengungkapkan diduga sebagian bibit sawit yang diberikan kepada anggota penerima PSR oleh pengurus kelompok tani “Taruna Tani” sebenarnya diperuntukkan kepada PT. UTAMA KARYA TANI sebagai pengguna dan sebagai pemilik bibit sawit adalah PT. TIMBANG DELI yang beralamat di Desa Timbang Deli Kecamatan Galang.
“Jika dilihat dari sample yang diikat di batang bibit sawit yang diberikan kepada anggota penerima PSR, bibit sawit tersebut diperuntukkan PT. UTAMA KARYA TANI di Desa Limau Manis, Kecamatan Tanjung Morawa sebagai pengguna,” jelasnya.
Selain itu, sambung Sadat, di sample tersebut juga tertera tanggal pemeriksaan dan tanggal kadaluarsa. “Untuk pemeriksaan tanggal 17 Desember 2021 dan kadaluarsanya sampai dengan Februari 2022,” ungkapnya.
“Sementara di Desa Batusundung penanaman sawit dilakukan kelompok tani “Taruna Tani” pada tahun 2023. Inikan sudah rekayasa, berarti keabsahan bibit sawit tersebut diragukan,” tambah Sadat. (DN)