Gerakan 30 September 1965
Oleh: Muhammad Andre Syahbana Siregar
bbnewsmadina.com, Pada hari itu, para jenderal dihadapkan dengan moncong senjata api yang kuat. Dinginnya senapan mesin ringan Thompson. Bahagian tubuh mereka menjadi santapan sedap untuk disinggahi peluru. Nyawa mereka hilang, bersama dengan kesunyian berbalut tangisan dini hari. Ada pula seorang anak kecil yang gugur, setelah menjadi perisai untuk ayahnya. Ayah yang menjadi saksi agar kelak bercerita tentang malam tragedi. Kekejaman, dan berbagai tujuan pergerakan ini masih terus menjadi perbincangan hangat. Peristiwa berdarah yang hingga saat ini menjadi polemik dalam historiografi Indonesia. Karena, baik tahun-tahun sebelum dan setelahnya, kita akan menemukan lebih banyak lagi manusia yang kehilangan nyawanya.
Gerakan 30 September 1965, adalah titik awal perubahan kiblat politik, sosial, ekonomi, dan lainnya di Indonesia. Perang dingin antara Amerika dengan Uni Soviet kala itu menjadikan Indonesia sebagai korbannya. Akibat pertempuran ideologi dari kedua negara ini, maka berbagai negara di belahan dunia, salah satunya Indonesia, menghabisi sesama bangsa.
Soeharto adalah tokoh yang paling jelas, dan orang yang memiliki petualangan panjang pada tahun-tahun itu, hingga akhirnya ia mendapatkan kursi Presiden, menggantikan posisi Soekarno sebagai pemangku tertinggi kekuasaan kala itu. Setelah sebelumnya, Soeharto berposisi sebagai Panglima Kostrad, dan mengambil alih secara penuh pertahanan Indonesia pasca tragedi Gerakan 30 September 1965.
Bagi Soeharto, D.N Aidit dan organisasi PKI adalah dalang utama dari semua kejadian ini. Mereka (anggota PKI) adalah anak-anak yang lahir dari pemberontakan Madiun di tahun 1948. Maka secepat mungkin, organisasi ini harus dipatahkan dan dihilangkan dari Indonesia. Akibat desas-desus kabar yang menyatakan, bahwa Aidit telah kabur dengan tujuan utamanya adalah membangun kekuatan yang lebih besar (mengkonsolidasi massa di beberapa daerah). Sebab, sejak masuknya PKI sebagai partai empat besar pada pemilu 1955, menjadikan mereka memiliki basis yang besar, serta pentolannya tentu tidaklah berjumlah sedikit.
Pada 21 November 1965, ketua PKI, cc. Dipa Nusantara Aidit ditemukan. Ia bersembunyi di rumah salah satu anggota Sarekat Buruh Kereta Api. Pada tanggal 22 November, Aidit dibawa ke Boyolali dengan kondisi tangan diborgol. Pintu kematian sudah dekat dengan dirinya, karena pada masa itu, Jasin selaku tokoh yang menghabisi nyawa Aidit menolak permintaannya untuk membawanya menghadap Presiden Soekarno. Aidit dieksekusi di dekat sumur, pada markas Batalyon Infanteri 444.
Jalan panjang, serta batu terjal memang sudah tertancap lama, dendam begitu membara antara ABRI dan PKI. Bagi ABRI sejatinya para tentara dan seluruh corong keamanan hendaknya berpegang teguh pada pancasila, jangan biarkan mereka (PKI) mengganti ideologi negara dengan ideologi komunis. Hal yang paling menjadi sorotan, adalah ketika gerakan 30 September itu bukanlah gerakan sipil dan politis saja, melainkan adanya dukungan militer di malam senyap itu. Keterlibatan Letnan Kolonel Untung Bin Syamsuri, dan beberapa bawahan lainnya yang diajak olehnya pada masa itu.
Mereka yang Bernasib Malang
Tidak ada bantahan atas peristiwa yang terjadi pada malam itu, ketika ABRI juga turut terlibat dalam operasi senyap malam berdarah, dan kebanyakan dari para anggota ABRI yang terlibat berpangkat sebagai sersan mayor ke bawah. Tidak semua dari mereka berasal dari pasukan Cakrabirawa ada juga yang berasal dari Brigade Infanteri 1. Nasib malang dan apes dari para bawahan itu, berujung pada eksekusi mati dan penjara sampai pada masa akhir pemerintahan Soeharto di tahun 1998.
Letkol Untung seakan memanfaatkan para bawahannya untuk melanjutkan gerakan mereka dalam menghabisi para jenderal. Adalah Sersan Satu Ishak Bahar orang yang tidak bisa menghindar ketika Letkol Untung menunjuknya sebagai ajudannya. Walaupun Ishak sudah mempertanyakan kapasitasnya sebagai seorang sersan, dan hendaknya Letkol Untung diajudani oleh orang yang berpangkat seperti Letnan, namun Letkol Untung memberikannya gertakan, dan ancaman mengenai masa lalu Ishak.
Media Tirto.id menjelaskan bahwa “Ishak tidak bisa menolak setelah Kolonel Untung menyinggung masa lalunya. Ia seorang anggota Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang berafiliasi dengan Masyumi. Saat itu, Masyumi adalah musuh rezim Soekarno sehingga dibubarkan pada 1960. Saat mengikuti Untung ke Lubang Buaya pada malam hari, di situ juga ia diberikan pangkat letnan Tituler.” Merupakan pangkat yang diberikan dengan keadaan jika sedang melaksanakan tugas khusus. Ishak juga memberikan kesaksian, bahwa malam terbunuhya para jenderal di Lubang Buaya benar-benar sepi, dan tak ada Gerwani serta tarian lagu “Genjer-genjer”.
Ishak, Bungkus, Sersan Dua Raswad, Prajurit Kepala Doblin, Sersan Tumiran, Sersan Gijadi, Prajurit Satu Athanasius Buang, Sersan Mayor Satar Suryanto, Sersan Dua Sukardjo, dan Prajurit Nor Rohayan adalah para pasukan yang menerima nasib malang. Terlebih lagi nasib yang dialami oleh Satar, Gijadi, dan Rohayan lebih buruk daripada Ishak, Bahar, dan Bungkus. Nyawa mereka direnggut di hadapan regu tembak, setelah mereka merasakan 25 tahun dalam penahanan. Mereka para prajurit yang sebenarnya tidak tahu apa-apa, menurut Kolonel CPM (purnawirawan) HW Sriyono, yang juga mantan perwira Cakrabirawa dilangsir dari Tirto.id.
Penulis Pendidik di Madrasah Aliyah Negeri 1 Mandailing Natal,
dan Aktif Pada Komunitas WeRead dan Historical Sumatera Utara
Biodata Penulis:
Penulis lahir pada tanggal 23 Mei 1996 di Medan. Penulis merupakan alumnus Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Medan. Selepas meraih Sarjana Pendidikan Sejarah, aktivitas penulis lebih banyak dihabiskan untuk menjadi seorang tenaga pendidik. Saat ini penulis diberikan amanah untuk mendidik pada Madrasah Aliyah Negeri 1 Mandailing Natal.
No Hp: 082364128702
Alamat Email: syahbanaandre@gmail.com
Alamat Lengkap: Jalan Sidomulyo Gg. Semangka 26 No. 96A, Pasar 9 Tembung, Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.