Mandailing Natal|BBNewsmadina.com
Organisasi kemasyarakatan Prasasti Jurnalis Madina (PJM) bertekad memperjuangkan hak wartawan Madina atas jaminan sosial. Bentuknya bisa saja sama dengan jaminan sosial ketenagakerjaan atau BPJS Ketenagakerjaan. Walau banyak tantangannya dan mungkin saja kandas, harus diperjuangkan.
Pemikiran itu merupakan cetusan salah seorang sahabat pengurus PJM, Tan Gozali Nasution. Ketika itu, rapat merumuskan program kerja sehubungan dengan pencatatan keberadaan PJM di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Mandailing Natal, ini disampaikan Ketua PJM Muhammad Ludfan Nasution, S.Sos kepada awak media, Kamis (13/04),
“Di antara beberapa pemikiran berupa saran yang mengemuka, gagasan untuk memperjuangkan jaminan sosial bagi wartawan yang bertugas di Mandailing Natal mendapat respon dan dukungan dari peserta rapat. Saya juga melihat itu sangat kontekstual sekaligus visioner,” jelasnya.
Namun, dia juga mengakui, untuk konteks Mandailing Natal, profesi wartawan sangat berbeda dengan profesi lain, salah satunya dalam hal penggajian. Sekalipun banyak wartawan yang bekerja secara profesional, namun perusahaan pers terkait nampaknya belum bisa memberikan apresiasi yang komersial atau sesuai dengan sifat pekerjaannya.
Karena itu, perjuangan agar wartawan yang bertugas di Mandailing Natal mendapatkan jaminan sosial yang nantinya bisa saja disebut jaminan sosial kewartawanan (jamsoswan) memang tidak mudah. Pertama, harus terlebih dahulu membangun pemahaman dan wacana bahwa wartawan itu memang profesi, terlepas dari perbedaan tampilan luarnya saat ini.
Ludfan Nasution menambahkan, “Seperti halnya beberapa profesi lain, wartawan juga memiliki dimensi dan nuansa sosial yang sangat kuat. Karena itu, wartawan memiliki kewajiban untuk bekerja menyebarkan berita peristiwa, berita pendapat dan informasi penting, kurang penting dan perlu diketahui sehingga masyarakat pembaca dapat mengetahuinya. Kami pikir, ini merupakan jasa sosial yang jika tak bisa secara komersial, harus dihargai secara sosial.”
Kalau sudah dapat dipahami dengan duduk permasalahan demikian, masyarakat dan pemerintah pun dapat memandang tugas wartawan memiliki dimensi yang dominan sebagai pekerjaan sosial, termasuk untuk menjalankan kontrol sosial, penerangan dan pendidikan. “Di sinilah, kita melihat “jamsoswan” itu sebagai hal yang mungkin dan perlu, bukan hak mustahil dan tak perlu,” tandas alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta.
Terkait gagasan jamsoswan itu lebih bersifat teknis lanjut Ludfan, seperti siapa dan bagaimana wartawan yang bisa mendapatkannya. Tentu bakal ada kriteria. Dan soal, sumber pembiayaannya, juga tergantung pada kearifan Pemkab dan DPRD Madina. “Mereka harus berorientasi kualitatif untuk tidak terjebak pada hitungan besaran angka atau dana APBD Madina yang muncul kemudian,pungkasnya. (qm)