Oleh: Ahmad Muhajir
Penulis Merupakan Dosen Sejarah Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat.
Indonesia merupakan salah satu negara yang berpartisipasi dalam Program for International Students Assesment (PISA) dilakukan oleh World Organization of Nations for Cooperation and Development (Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi & Pembangunan). PISA dilakukan pertama kali pada tahun 2000 dan data terakhir yang dipublikasikan adalah PISA 2018. Sejak adanya penilaian yang dilakukan, mengenai kemampuan membaca siswa di Indonesia menjadi begitu familiar bagi masyarakat, khususnya komunitas pendidikan di Indonesia. Karena dalam setiap pelaksanaannya data hasil PISA (termasuk yang terakhir), Indonesia dalam penilaian masih berada di kelompok terendah sebagai negara peserta (OECD, 2018).
Hal ini membuat orang selalu memperhatikan hasil data tentang Reading atau kemampuan membaca siswa Indonesia. Selain itu, studi lain oleh Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) dan Early Grade Reading Assessment (EGRA) (Mullis & Martin, 2017; (USAID) Indonesia, 2014) yang ternyata menunjukkan data yang tidak jauh berbeda dari PISA. Data lain tentang kemampuan membaca yang kemudian banyak diperbincangkan adalah data dari World’s Most Literate Nations yang dilakukan oleh Central Connecticut State University, Amerika Serikat, yang dirilis pada awal tahun 2017, di mana Indonesia menempati urutan ke-60 dari 61 negara peserta dalam hal keterampilan literasi (Central Connecticut State University, 2017). Hasil Asesmen Program Nasional Indonesia Tahun 2016 yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Pendidikan (Puspendik) Kementerian Pendidikan & Kebudayaan sendiri menunjukkan bahwa sebaran rata-rata nasional literasi terhadap kemampuan membaca siswa di Indonesia, 46,83% masuk dalam kategori Kurang Baik, hanya 6,06% masuk dalam kategori Baik, dan 47,11 berada pada kategori Cukup (Kemdikbud, 2017).
baca : Ada Yang Hilang dari Budaya Kita
Dengan mempertimbangkan data di atas, sebagian orang mengira bahwa semua ini adalah satu masalah, bahkan dianggap darurat dan menjadi bukti kuat adanya “penyakit” kronis dalam penyelenggaraan pendidikan di tanah air (Driana, 2012), karena data tersebut menunjukkan salah satu kelemahan serius bangsa Indonesia setelah lebih dari 70 tahun merdeka. Untuk beberapa kalangan lainnya, data tersebut diperdebatkan dengan menanyakan berapa jumlah sampel yang diambil, area yang disurvei, dengan mempertimbangkan jumlah siswa dan daerah yang memiliki disparitas mutu pendidikan di Indonesia masih tinggi.
baca : SEJARAH SINGKAT LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Namun, beberapa menganggapnya sebagai masalah atau kontroversi bahwa data tentang rendahnya kemampuan dan budaya membaca di Indonesia harus dijadikan dasar berpikir positif karena bagaimanapun survei ini dilakukan dengan metodologi dan publikasi ilmiah yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah oleh para pihak penyelenggara. Dengan berpikir positif, data-data tersebut dapat dijadikan sebagai bahan refleksi dan evaluasi semua pihak yang terkait dengan pendidikan untuk perbaikan ke depan, terutama yang bersangkutan berkaitan langsung dengan peningkatan keterampilan dan budaya membaca untuk meningkatkan daya baca bangsa.
Langkah refleksi dan evaluasi penting untuk mengingat bacaanmemiliki kedudukan dan peran yang sangat penting dalam konteks kehidupan manusia, khususnya dalam era informasi dan komunikasi seperti saat ini. Membaca juga merupakan jembatan menuju siapa saja dan dimana saja yang ingin meraih kemajuan dan kesuksesan, baik di lingkungannya dunia sekolah, pekerjaan dan sepanjang hidup manusia. Oleh karena itu, para ahli sepakat bahwa kemampuan membaca (reading literacy) merupakan syarat mutlak bagi setiap manusia yang ingin memperoleh kemajuan (Harras, 2014).