Sekilas Tentang Organisasi Budi Utomo (Bagian 1)

Oleh: Ahmad Muhajir

Penulis Merupakan Dosen Sejarah, Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat

Peristiwa yang terjadi di masa lalu adalah bagian dari kesatuan pengalaman kolektif bangsa Indonesia yang memiliki arti penting dalam memahami sejarah nasional bangsa Indonesia. Apa pun bentuk peristiwa itu, kita harus mengakuinya sebagai bagian darinya dari masa lalu Indonesia. Salah satunya adalah peristiwa tentang berdirinya Budi Utomo sebagai organisasi modern pertama pada tahun 1908 (Suhartono, 1994).

Perlu ditekankan di sini bahwa nasionalisme di Indonesia sangat berbeda dengan tumbuhnya nasionalisme di negara-negara lain di dunia. Nasionalisme di Indonesia adalah sebuah bentuk perlawanan (antitesis) dari kolonialisme sosial-politik yang dilakukan oleh Belanda. Jadi tidak ada alasan bagi organisasi modern untuk bangkit dan melakukan perlawanan, bahkan jika disadari bahwa munculnya organisasi di Indonesia adalah dampak modernisasi sebagai akibat dari kebijakan kolonial itu sendiri.

Organisasi Budi Utomo, sejarah nasional, nasionalisme Indonesia, modernisasi kolonial, pendidikan bumiputera, Dr. Wahidin Sudirohusodo, studiefonds, perlawanan kolonial, perkumpulan mahasiswa, perjuangan pendidikan
Sumber Gambar: Kompas.com

Memasuki abad 19, perekonomian di Hindia Belanda terlihat memprihatinkan. Sehingga bepengaruh terhadap perkembangan dunia pendidikan bagi masyarakat bumi putera. Oleh karena itu, masalah biaya pendidikan menjadi masalah yang harus diperhatikan sehingga proses memajukan pendidikan putra daerah sebagian besar priyayi (bangsawan rendahan) berjalan lancar. Banyak dari mereka memiliki pikiran yang cemerlang tetapi terhambat oleh masalah biaya, akhirnya upaya memperoleh pendidikan gagal.

baca : Krisis Ekonomi Akhiri Pemerintahan Orde Baru

Menghadapi keadaan seperti itu, kita tidak bisa mengesampingkan peran sosok yang peduli terhadap kemajuan pendidikan kaum pribumi. Beliau adalah Dr. Wahidin Sudirohusodo yang lahir di Desa Mlati, Sleman, Yogyakarta pada tanggal 7 Januari 1852. Pada usia 15 tahun menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Kedokteran Jawa di Weltevreden, dan tahun pada tahun 1872 ia langsung diangkat menjadi asisten dosen di Sekolah Kedokteran Jawa. Setelah beberapa tahun menjabat, pada tahun 1895 Dr. Wahidin Sudirohusodo meninggalkan tugasnya dan kembali ke Yogyakarta serta mendirikan surat kabar berkala bernama “Retnodhoemilah” yang terbit setiap tahun Selasa dan Jumat. Selama kurang lebih 10 tahun Dr. Wahidin Sudirohusodo di sektor surat kabar. Pada tahun 190-1906 dia memegang pemimpin redaksinya sendiri. Selanjutnya di bulan November pada tahun 1906 ia mengundurkan diri karena sakit, dan menjadi penggantinya adalah Mas Wignjohardjo (Drs. S.Z. Hadisutjipto, 1996/1997).

Ketika dr. Wahidin Sudirohusodo aktif melempar buah pemikirannya tentang masalah pendidikan, Mr. J.H. Abendanon sebagai Direktur Kementerian Pendidikan, Agama, dan Kerajinan juga mewakili pihak kolonial bersemangat untuk mengimplementasikan rencana untuk mempromosikan pendidikan publik bumiputera yang sudah berjalan sejak tahun 1900. Namun nyatanya membuat kurangnya respon bagi masyarakat Jawa. Oleh karena itu, Dr. Wahidin Sudirohusodo kemudian memilih jalan bertemu langsung dengan pimpinan orang Jawa dan meminta mereka untuk terlibat dalam menyumbangkan dana beasiswa. Untuk itu, dr. Wahidin Sudirohusodo meninggalkan pekerjaannya sebagai direktur majalah Retnodhoemilah (Parakirti T. Simbolon, 1991).

Alasan dr Wahidin Sudirohusodo membuatnya berani mengambil risiko dengan keputusannya karena kebanyakan orang Hindia Belanda (Indonesia) baik dalam bidang spiritual, maupun dalam istilah material masih sangat buruk dan terbengkalai. Martabat rakyat harus dijunjung lebih tinggi, dengan memberikan bantuan kepada mereka yang tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Oleh karena itu perlu segera membentuk badan yang menyelenggarakan Studiefonds (Dana Pendidikan), untuk membantu pemuda Indonesia agar mereka dapat melanjutkan studi di perguruan tinggi.

Semangat Dr Wahidin Sudirohusodo sebagai pejuang memang luar biasa. Bahkan ia membayarnya dari kantong sendiri utnuk berkeliling Jawa, ia juga menghadapi risiko terhadap kesehatannya. Disebutkan sebelumnya, Dr. Wahidin Sudirohusodo menyatakan berhenti dari tugasnya di Retnodhoemilah pada November 1906 dengan alasan sakit. Namun, di surat kabar Retnodhoemilah yang terbit pada tanggal 8 Desember dan 9 Maret 1907 membawa berita tentang perjalanannya. Hal ini tentu sungguh sangat luar biasa (Drs. S.Z. Hadisutjipto, 1996/1997).

Tidak semua ikhtiar mulia selalu mendapat respons yang menyenangkan. Demikian pula upaya yang dilakukan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo. Dalam perjalanannya keliling Jawa untuk mengenalkan Studiefonds, Dr. Wahidin Sudirohusodo mengalami banyak kendala. Beberapa bangsawan yang dia kunjungi hanya memberikan tanggapan dingin. Hal ini dipandang sebagai rasa kekhawatiran akan kehilangan kedudukannya di dalam masyarakat apabila rakyat telah memperoleh kecerdasannya di negeri jajahan. Itulah sebabnya, sebagian dari golongan bangsawan tidak tertarik akan propaganda Dr. Wahidin Sudirohusodo. Oleh karena itu ia mencoba melirik kaum muda untuk diajak membahas buah pikirannya. Karena menurutnya para pemuda (pelajar) dinilai mudah menangkap maksud dan tujuan dari adanya studiefonds tersebut. Para pemuda yang telah mendapat imbas dari pendidikan modern pendangannya akan terlontar jauh ke depan (Drs. Sudiyo, 1989).

Dalam perjalanannya ke Banten untuk mempropagandakan Studiefonds, Wahidin Sudirohusodo pada akhir tahun 1907 perlu mampir ke STOVIA di Weltevreden (sekarang Jakarta). Saat itu, Soetomo dan Soeradji seorang mahasiswa STOVIA tiba-tiba mengajak Dr. Wahidin Sudirohusodo, mereka sangat ingin mendengar ide-idenya. Setelah mendengarkan ide-idenya yang dilontarkan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo, Sutomo segera larut dalam kegiatan mendirikan suatu perkumpulan di STOVIA. Oleh karena mereka tinggal bersama dalam asrama maka salah satu keuntungan yang didapat adalah begitu mudahnya hubungan satu sama lain dijalin. Minat terbesar untuk membentuk satu perkumpulan di STOVIA muncul dari siswa-siswa yang berasal dari Jawa, yang merupakan mayoritas, dan oleh teman-teman sekelas Soetomo dan Soeradji. Mereka berdua (Soetomo dan Soeradji) kemudian berkeliling dari kelas ke kelas mencari dukungan (Akira Nagazumi, 1989).

Sedangkan untuk daerah di luar Batavia, Soetomo bersama beberapa temannya mencari dukungan melalui media surat dikirim antara lain ke Bogor, Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Magelang. Tak disangka, dukungan, semangat dan persetujuan datang mengalir dari berbagai tempat, sehingga mimpi yang dulu masih diragukan sekarang lebih stabil. Pada hari Rabu 20 Mei 1908, sekitar pukul 09.00, Soetomo dan teman-temannya antara lain M. Soeradji, M. Muhammad Saleh, M. Soewarno, M.Goenawan, Soewarno, R.M. Goembrek, R. Angka, dan M. Soelaiman, berkumpul di ruang kuliah anatomi. Mereka semua pada akhirnya sepakat memilih BOEDI OETOMO (Budi Utomo) menjadi nama perkumpulan yang resmi mereka dirikan.

Editor : BMP
COPYRIGHT © bbnewsmadina.com 2023

Tinggalkan Balasan

error

Enjoy this blog? Please spread the word :)